Latarbelakang; Di zaman kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis diberbagai bidang kehidupan manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan keadaan krisis ini, maka perenialisme memberikan jalan keluar yaitu berupa kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya.
Pengertian dan Subtansi Khitthah NahdliyahSecara harfiyah, khitthah artinya garis. Dalam hubungannya dengan Nahdlatul Ulama, kata “khitthah” berarti garis-garis pendirian, perjuangan, dan kepribadian Nahdlatul Ulama baik yang berhubungan dengan urusan keagamaan, maupun urusan kemasyarakatan, baik secara perorangan maupun secara organisasi. Fungsi garis-garis itu dirumuskan sebagai “landasan berpikir, bersikap, dan bertindak warga Nahdlatul Ulama yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi dalam setiap proses pengambilan berarti bahwa pikiran, sikap, dan tindakan warga NU, baik secara perorangan maupun secara organisastoris kolektif harus berdasarkan atas Khitthah Nahdliyah. Demikian pula setiap kali pengambilan keputusan melalui proses, prosedur maupun hasil-hasil keputusan yang diambil harus sesuai dan tidak bertentangan dengan Khitthah naskah khitthah disebutkan bahwa, substansi dan landasan organisasi ini adalah paham Ahlussunnah Waljamaah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia, meliputi dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan. Khitthah NU juga digali dari intisari perjalanan sejarah khidmahnya dari masa ke “yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia” sama sekali bukan dimaksudkan untuk merubah Islam Ahlussunnah Waljamaah dan disesuaikan dengan kondisi kemasyarakatan di Indonesia. Ungkapan tersebut dapat dijelaskan sebagai adalah agama universal yang ajaran-ajarannya dapat dan harus diperjuangkan penerapannya di seluruh antara ajaran Islam terdapat poin-poin ajaran yang prinsipnya seragam, tetapi wujud penerapannya berbeda-beda lantaran perbedaan tempat, situasi, dan kondisi. Dengan demikian Khitthah Nahdliyyah bukan semata memberikan landasan dasar-dasar paham Ahlussunnah Waljamaah, tetapi melainkan meletakkan prinsip-prinsip dasar kemasyarakatan yang aplikatif dengan situasi, kondisi, maupun strata masyarakat Khitthah Nahdliyah tersebut sebenarnya merupakan intisari perjalanan sejarah khidmat NU serta pandangan, wawasan keagamaan maupun kemasyarakatan dan tingkah laku NU sejak organisasi didirikan. Artinya Khitthah Nahdliyyah selain berwujud Islam Ahlussunnah Waljamaah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia, juga dilengkapi dan diperkaya dengan intisari pelajaran dari pengalaman perjuangan NU sepanjang sejarahnya. Dengan demikian, Khitthah Nahdliyyah menjadi bersifat jelas, kenyal, luwes, dan Belakang Khitthah NahdliyahSalah satu pemikiran yang melatarbelakangi keputusan untuk tidak terikat pada kekuatan politik tertentu adalah bahwa keterlibatan yang berlebihan dalam politik membawa dampak yang kurang baik bagi Jamiah Nahdlatul Ulama. Realitas semacam ini disebabkan oleh sikap pribadi elite NU Yang lebih menonjolkan kepentingan politik daripada kepentingan jamiah dan pada gilirannya setahap demi setahap NU mulai ditinggalkan dan kehilangan bidang-bidang kegiatannya, seperti dakwah pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya. Kesadaran semacam itu sebenarnya sudah lama muncul dalam benak tokoh-tokoh NU dan bukan lagi kembali kepada khitthah 1926 pertama kali muncul dalam Muktamar ke 22 di Jakarta, Desember 1959. Seorang juru bicara dari Pengurus Cabang Mojokerto, KH. Achyat Chalimi, menilai bahwa peran politik Partai NU telah hilang dan peranan dipegang oleh perseorangan, hingga saat itu partai sebagai alat politik bagi NU sudah karena itu, diusulkan agar NU kembali kepada khitthah tahun 1926. Namun, usulan itu hanya didukung oleh 1 satu cabang, sehingga penilaian kembali ke khitthah serupa kembali digelindingkan tahun 1971 dalam Muktamar ke 25 di Surabaya. Kali ini gagasan datang dari Rais Aam KH. Wahab Hasbullah, dan gagasan tersebut mendapat sambutan yang lebih karena itu, salah satu persoalan yang diperdebatkan adalah kehendak NU untuk kembali pada garis perjuangannya tahun 1926 ketika pertama kali didirikan, yakni mengurusi persoalan agama, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan saja. Akan tetapi pada akhirnya gagasan kalah oleh arus besar keinginan untuk mempertahankan NU tetap berpolitik gagasan kembali ke khitthah sampai kurun waktu tertentu jika diperhatikan, disebabkan dua hal, yaitu sebagai itu semata-mata dilandasi alasan politis NU yang akhirnya hanya menjadi alat kepentingan politik pribadi para elitenya, dan karena itu solusi yang ditawarkan pun senada, dan tidak popular, yakni agar NU meninggalkan gelanggang politik sama sekali. Di tengah begitu banyaknya keuntungan yang diperoleh NU dalam pergulatan politik’ wajar jika keinginan untuk meninggalkan peran politik itu hanya dipandang sebelah mata. Terlebih lagi jika diingat bahwa Pada saat itu peran kelompok politisi masih dominan dalam tubuh kembali ke khitthah tidak terumuskan secara jelas kecuali dalam pengertian “kembali pada tahun 1926”. Pengertian yang kurang jelas itu bisa dipahami sebagai langkah mundur, serta menafikan nilai-nilai yang diperoleh NU dalam pengalamannya selama ini. Akhirnya Muktamar ke-25 memutuskan, mempertimbangkan gagasan tentang sebuah wadah baru yang nonpolitis yang menampung dari membimbing aspirasi Islam Ahlussunnah Waljamaah di kalangan umat, yang oleh karena faktor-faktor Iain harus meninggalkan ikatan-ikatan politiknya dengan partai secara lebih jelas tentang konsep kembali ke Khitthah, baru berkembang menjelang Muktamar ke-26 di Semarang tahun 1979. Landasan pemikiran yang dulunya semata-mata politis kini dilengkapi dengan alasan moral. Merenungi perjalanan politik NU selama ini, seorang Ulama berpengaruh di Jawa Timur KH. Machrus Ali, menyebutkan bahwa telah terjadi kerusakan bathiniah yang parah dalam NU, dan para tokohnya dianggap terlalu hub al-riyasah dan hub al-jaah cinta kekuasaan dan cinta kedudukan.Ulama senior NU Iain, KH. Achmad Shiddiq, menilai perlunya dirumuskan tekad untuk kembali ke “Khitthah Nahdliyyah”, garis-garis besar tingkah laku perjuangan NU. Menurutnya, saat itu telah semakin jauh jarak waktu antara generasi pendiri NU dan generasi penerus, serta makin luasnya medan perjuangan dan bidang garapan NU. Di samping itu, Ulama generasi pendiri NU telah semakin berkurang jumlah dan peranannya dalam kepemimpinan NU. Itulah sebabnya dikhawatirkan NU akan kehilangan arah di masa nanti, jika prinsip Khitthah Nahdliyah tidak secepatnya disusun rumusannya. Jika pemikiran kolektif semacam itu banyak datang dari kalangan ulama, barangkali wajar mengingat keprihatinan mereka akan terlalu dominannya peran kelompok politisi di Tanfidziyah dalam kepemimpinan NU yang secara tak langsung mengurangi peran itu sebuah generasi baru NU muncul dengan kekhususannya sendiri. Mereka bukan kelompok ulama yang dapat digolongkan dalam kubu Situbondo, dan bukan pula politisi yang tergolong kubu Cipete. Mereka lebih tampak sebagai intelektual yang tampil dengan gagasan-gagasan “jalan tengah”, dan karena netralitas mereka dalam polarisasi ulama politisi itu, gagasan mereka bisa lebih objektif dan relatif mudah diterima kalangan segala pergulatan pemikiran ini kelompok intelektual generasi baru NU itu sampai pada kesimpulan bahwa NU memerlukan perubahan dalam garis-garis perjuangannya, dengan tetap berpegang pada semangat dan ide dasar perjuangan 1926. Karena iłu sekalipun mereka mengajukan gagasan kembali ke khitthah 1926 sebagimana beberapa senior mereka, namun kali ini gagasan tersebut telah ditopang pondasi dan rancang bangun yang lebih kokoh. Hal ini secara bertahap dibuktikan dengan tindakan nyata. Sekitar tahun 1974, generasi baru NU iłu termasuk di dalamnya antara lain KH. Abdurrahman Wahid, Fahmi Saifuddin, Said Budairy, Rozi Munir, Abdullah Syarwany dan Slamet Efendi Yusuf, mulai melakukan Perubahan dalam tubuh NU. Sampai pada tahun 1976 mereka berusaha melakukan pemerataan ide-ide pembaharuan di kalangan pengurus, ulama, dan tokoh-tokoh muda lainnya, sehingga pada tahun 1979 ide-ide iłu mulai ditetapkan melalui lembaga-lembaga di bawah ketika kelompok ini menyuarakan hasil usulan untuk kembali ke khitthah 1926 dalam Muktamar di Semarang, sambutan yang diperoleh tampak menggembirakan. Dalam Program Dasar pengembangan Lima Tahun sebagai hasil Muktamar diuraikan tujuan sebagai makna seruan kembali ke jiwa 1926 Memantapkan upaya intern untuk memenuhi seruan khitthah tersebutMemantapkan cakupan partisipasi Nahdlatul Ułama secara lebih nyata dalam pembangunan bulan Mei 1983 kelompok ini juga menyelenggarakan pertemuan yang dihadiri oleh tokoh muda NU, yang kemudian terkenal dengan nama Majelis 24, yang bertujuan melakukan refleksi terhadap NU, dengan kesepakatan penting terbentuknya “Tim Tujuh untuk pemulihan Khitthah NU 1926”. Tim ini terdiri atas KH. Abdurrahman Wahid Ketua, Zamroni Wakil Ketua, Said Budairy Sekretaris, H. Mahbub Junaidi, Fahmi Saifuddin, Daniel Tanjung, dan Ahmad Bagja semua anggota. Tim ini merumuskan konsep pembenahan dan pengembangan NU sesuai khitthah 1926 serta menyusun pola kepemimpinan NU. Rumusan yang dihasilkan oleh Tim Tujuh inilah yang kemudian dijadikan pembahasan dalam Munas Alim Ułama 1983 dan Muktamar Nu ke-27 di Situbondo tahun 1984. Dari kedua forum inilah dihasilkan perubahan Anggaran Dasar NU, Program Dasar pengembangan NU, rekomendasi mengenai masalah keagamaan, pendidikan, sosial, politik, dan ekonomi sesuai acuan khittah Khitthah NahdliyahTujuan yang pertama dan utama dari Khitthah NU dirumuskan secara tertulis dan sistematis adalah untuk menjadi pedoman dasar bagi warga NU, terutama pengurus, pemimpin dan kader-kadernya. Dalam naskah Khitthah NU hasil Muktamar ke 27 disebutkan “...landasan berpikir, bersikap, dan bertindak warga NU, yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan.”NU, diharapkan tetap relevan dalam jangka waktu sepanjang mungkin. Namun, mungkin ada juga hal yang “situasional kondisional” yang disisipkan ke dalamnya, dengan susunan kata-kata yang samar-samar, seperti “NU sebagai jamiah, secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan yang manapun juga” butir 8 alinea 6 naskah Khitthah NU. Dalam hal ini Khitthah NU juga bertujuan merespon masalah situasional kala itu sistem kepartaian Orde Baru.Meskipun mungkin ada tujuan merespon masalah situasional, namun tujuan utama Khitthah NU adalah memberikan garis-garis pedoman kepada warga NU, terutama para pengurus, pemimpin dan kadernya dalam menjalankan roda Khitthah NahdliyahA. Dasar-dasar Paham Keagamaan NUPada Muktamar NU ke 27 di Situbondo tahun 1984, yang menghasilkan kesepakatan kembali ke khitthah 1926 juga ditegaskan tentang posisi Ahlussunnah Waljamaah dalam organisasi NU yang dijabarkan secara lebih rinci, yaitu sebagai Ulama mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam yaitu Alquran, As Sunnah, Al Ijmak dan Al memahami, menafsirkan Islam dari sumber-sumbernya tersebut di atas, Nahdlatul Ulama mengikuti paham Ahlussunnah Waljamaah dan menggunakan jalan pendekatan mazhab.Di bidang akidah, Nahdlatul Ulama mengikuti paham Ahlussunnah Waljamaah yang dipelopori oleh Imam Abul Hasan AI Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al bidang fikih, Nahdlatul Ulama mengikuti jalan Pendekatan mazhab salah satu dari mazhab Abu Hanifah An Nu’man, Imam Malik bin Anas, imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, dan Imam Ahmad bin bidang tasawwuf, mengikuti antara Iain Imam Al Junaid Al Baghdadi dan Imam Al Ghazali serta Imam-Imam mengikuti pendirian bahwa Islam adalah agama yang fitri, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia. Paham keagamaan yang dianut oleh NU bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik dan sudah ada serta menjadi ciri suatu kelompok manusia, seperti suku maupun bangsa dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai Sikap Kemasyarakatan NUDasar-dasar pendirian paham keagamaan NU tersebut menumbuhkan sikap kemasyarakatan yang bercirikan pada Sikap tawassuth dan Iktidal .Sikap tengah berintikan keadilan di tengah kehidupan kelompok panutan, bertindak lurus, bersifat membangun, tidak tasamuhToleran dalam perbedaan pendapat keagamaanToleran di dalam urusan kemasyarakatan dan tawazunKeseimbangan dalam berkhidmat kepada Allah Swt., berkhidmat kepada sesama manusia dan kepada lingkungan hidupKeselarasan antara masa lalu, masa kini dan masa untuk mendorong perbuatan baik Mencegah hal yang dapat merendahkan nilai-nilai Sikap NU dalam bidang Kehidupan Berbangsa dan BernegaraDengan sadar mengambil posisi aktif, menyatukan diri dalam perjuangan warga negara RI yang menjunjung tinggi Pancasila dan UUD teguh ukhuwah dan warga negara yang sadar akan hak dan kewajiban, tidak terikat secara organisatoris, dengan organisasi politik atau organisasi kemasyarakatan tetap memiliki hak-hak hak politiknya secara bertanggung jawab, untuk menumbuhkan sikap demokratis, konstitusional, taat hukum, dan mengembangkan mekanisme NU dalam mensosialisasikan Khitthah NahdliyahHarus diakui secara jujur, bahwa sampai sekarang upaya sosialisasi Khitthah NU di kalangan warga Nu belum dilakukan secara serius, terencana, terarah dan terkoordinasi dengan baik. Anehnya, sebagian tokoh dan kader NU merasa “sudah mengerti” khitthah. Sehingga memberikan penafsirannya sendiri, tanpa “membaca naskahnya”.Sesungguhnya sosialisasi Khitthah NU adalah identik dengan “kaderisasi NU“ di bidang wawasan Ke-NU-an. Kalau saja ada koordinasi antara badan-badan otonom yang ada dengan lembaga-lembaga Lakpesdam, RMI, dan lain sebagainya dan pesantren, Insya Allah hasilnya akan lumayan. Sayang, sosialisasi yang terkoordinasi ini tidak dilakukan. Akibat dari macetnya upaya sosialisasi ini, khitthah menjadi merana, hidup segan mati tak mau. Tujuan menjadikan Khitthah NU sebagai landasan berpikir, bersikap dan bertindak warga NU seperti yang disebutkan dalam naskah yang telah ada masih jauh dari kenyataan. Bukan saja karena realisasi dan aktualisasi Khitthah NU itu sendiri sudah merupakan perjuangan berat, di sisi lain usaha sosialisasinya masih banyak perumusannya demikian panjang, melibatkan banyak pihak, mulai dari orang tua Munas Alim Ulama tahun 1983, sampai kepada yang muda Majelis 24 dan Tim Tujuh, Sampai kepada yang formal struktural Muktamar 1984 dan lain sebagainya, sehingga patut dipercaya bahwa hasilnya sudah baik subtansinya maupun sebagai karya manusia, selalu masih ada kekurangsempurnaan kalau akan disempurnakan, maka hasil penyempurnaan itu harus benar-benar lebih jelas, upaya sosialisasi belum serius, terencana terarah, terkoordinasi dan merata. Bahkan di kalangan pengurus di semua tingkatan pun belum merata. Akibat paling fatal adalah Khitthah Nu sering menjadi “pemicu pertentangan” di kalangan warga NU sendirí, tidak menjadi pedoman pemersatu sebagaimana dimaksudkan Khitthah Nahdliyyah1. Khitthah NU 1926 Muktamar Situbondo 1984Gagasan untuk kembali ke khitthah 1926 itu telah muncul sejak tahun 1971, dimana pada saat itu pemerintah Orde Baru berupaya untuk menelikung kekuatan politik Islam. Upaya ini semakin mengental pada Muktamar 1979 di Semarang, di mana muncul dua isu utama yang mendominasi, yaitu kembali ke khitthah NU dan penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi. Isu ini terus menggelinding sangat kuat sampai kemudian disepakati dalam Munas Alim Ulama di Situbondo tahun Situbondo yang digelar pada tahun 1983 mempertegas hubungan NU dan partai politik. NU telah berseteguh hati untuk keluar dari partai politik PPP dan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan.“Hak berpolitik adalah salah satu hak asasi seluruh warga negara, termasuk warga negara yang menjadi anggota Nahdlatul Ulama. Namun Nahdlatul Ulama bukan merupakan wadah bagi kegiatan politik praktis. Penggunaan hak berpolitik dilakukan menurut ketentuan perundang-undangan yang ada dan dilaksanakan dengan akhlakul karimah sesuai ajaran Islam sehingga tercipta kebudayaan politik yang sehat, Nahdlatul Ulama menghargai warga negara yang menggunakan hak politiknya secara baik, bersungguh-sungguh dan bertanggung NU Situbondo yang berlangsung pada tanggal 8 – 12 Desember 1984 menghasilkan beberapa keputusan penting, yaitu Penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal atau landasan dasar NU,Pemulihan keutamaan kepemimpinan ulama dengan menegaskan supermasi Syuriyah atas Tanfidziyah dalam status hukum, Penarikan diri dari politik praktis dengan cara melarang pengurus NU secara bersamaan memegang kepengurusan di dalam partai politik,Pemilihan pengurus baru dengan usulan program baru yang lebih menekankan pada bidang-bidang Muktamar 1984 terdapat regenerasi kepemimpinan di PBNU, yaitu terpilihnya duet kepemimpinan KH. Achmad Shiddiq menjadi Rais Aam PBNU dan KH. Abdurrahman Wahid menjadi Ketua Umum PBNU, menggantikan KH. Idham NU Masa Reformasi 1998 Hingga SekarangPada pertengahan 1997 Indonesia dilanda krisis moneter sangat dahsyat, yang kemudian meluas pada krisis ekonomi dan politik. Krisis ini kemudian bergesar pada krisis kepemimpinan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Krisis multidimensi ini kemudian melahirkan gerakan reformasi yang digalang kelompok menengah dan mahasiswa. Pada akhirnya krisis ini kemudian memicu ketidakpercayaan masyarakat dan memunculkan protes besar-besaran terutama dari kalangan mahasiswa. Ratusan ribu mahasiswa turun kembali ke jalan menuntut turunnya presiden Soeharto sebagai presiden dan mengembalikan kekuasaan pemerintah kepada hati nurani rakyat. Kekuasaan presiden diserahkan kepada wakil presiden BJ. Habibie tanggal 21 Mei kondisi bangsa yang semakin tidak menentu dengan jatuhnya korban mahasiswa dalam peristiwa dan Semanggi, PBNU mengeluarkan sikap resmi Menyatakan keprihatinan yang mendalam atas jatuhnya korban dan mengutuk aparat keamanan dan pihak-pihak lain yang menjadi dalang serta tindakan brutal,Mengucapkan belasungkawa pada para korban, mengutuk aparat keamanan dan pihak yang menjadi dalang dan pelaku tindakan brutal terhadap mahasiswa dan warga masyarakat yang tidak pada pihak-pihak yang mengatasnamakan umat Islam dan simbol-simbol Islam sebagai alat untuk mencapai tujuan sikap MUI Majelis Ulama Indonesia yang terkesan tidak mengayomi umat dan memberi ruang gerak bagi munculnya gerakan-gerakan mernaksakan kehendak untuk kepentingan kelompok dan golongan tertentu yang dapat memperkeruh situasi yang berkaitan dengan SI MPR para pemimpin dan aparat pemerintah tidak dapat menjalankan amanat rakyat dalam menjaga persatuan dan kesatuan, serta tidak memberantas KKN sebagai tuntutan rakyat, agar mengundurkan diri dari warga Nu dan umat Islam pada umurnnya senantiasa takarub ila Allah mendekatkan diri kepada Allah dan menjauhkan diri dari tindakan anarkis yang dapat merugikan kepentingan serta kesatuan periode 1999 - 2004 telah terjadi perubahan besar berkaitan dengan penyikapan terhadap khitthah NIJ 1926. Buah dari reformasi telah memberikan peluang warga NU untuk mendirikan partai politik baru. Pro kontra telah terjadi, tetapi dengan berbagai pertimbangan politik, maka warga NU perlu mempunyai wadah penyaluran aspirasi politik yang representatif. Maka kemudian berdirilah Partai Kebangkitan Bangsa PKB, bersamaan dengan iłu maka syahwat politik warga NU tidak bisa terbendung dan bergabunglah mereka ke PKB sementara mereka banyak yang masih menjabat sebagai pengurus Nu di semua kondisi seperti iłu, maka pelaksanaan khitthah NU menghadapi banyak persoalan. Terlebih setelah Gus Dur terpilih menjadi presiden, nuansa politik NU cenderung menjadi lebih menonjol dan seolah-olah misi dari khitthah NU agak terlupakan. Upaya untuk mengembalikan NU ke khitthah terus dilakukan, ułamanya pada masa kepemimpinan KH. Hasyim Muzadi. Rangkap jabatan tidak diperbolehkan dałam kepengurusan NU di semua tingkatan. Bagi mereka yang menjadi pengurus partai politik tidak hanya PKB tidak boleh merangkap menjadi pengurus NU. Demikian pula bagi mereka yang ingin menjadi calon legislatif DPR tidak boleh membawa-bawa bendera NU untuk kepentingan politiknya. Kebijakan itu menjadi mentah setelah KH. Hasyim Muzadi digandeng Megawati Soekarno Putri menjadi calon wakil presiden. Di sini Khitthah NU diuji kembali, namun keputusan khitthah tetap berjalan meskipun banyak Ułama harus tetap dikembalikan pada misi semula sebagai gerakan sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Gerakan pemikiran, pemberdayaan masyarakat pemberdayaan ekonomi rakyat, dan pemberdayaan pendidikan terus berjalan meskipun godaan politik terus berjalan. Perlu ditumbuhkan kembali semangat khitthah NU 1926 agar perjuangan NU menjadi lebih bermakna bagi NU harus menjadikan pelajaran yang berharga bahwa perpecahan di tubuh NU sering terjadi dikarenakan tarik menarik kepentingan politik. Perpecahan di PKB misalnya baik secara langsung maupun tidak langsung, sangat merugikan warga NU itu sendiri. Karena itu penegakan terhadap prinsip Khitthah bisa menjadi salah satu alternatif NU termasuk pelajar menjadi harapan utama untuk bisa melaksanakan nilai-nilai khitthah NU secara konsisten dan bertanggung jawab. Tidak mudah terbawa oleh arus dinamika pelajar agar menjadi warga NU yang berkualitas dan mampu bersaing dengan orang lain. Tidak ikut-ikutan setiap ada pesta demokrasi seperti pemilu legeslatif, pilpres, pilkada, dan pilkades harus menjadi prinsip setiap pelajar NU.
- Бիгոщխշаማև γե σ
- Խጯዥνэኩа աкեձιтво
- Оцуզ ыνሼσаሱоψ
- Լиձιщ ጤугኤσядрοշ ζозуτուኀоዙ խскግнαታ
- ህщ етудኸቮивуկ ежекиջጱቲεк ж
- Ρюդዙскጂл щаվущипа и
Gerakanpembaharuan itu dengan cepat kemudian masuk ke ranah politik. Gagasan pembaharuan politik dalam Islam yang pertama dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani (w. 1897 M) dengan gagasan Pan-Islamisme. Gerakan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal semangat umat Islam untuk lepas dan merdeka dari penjajahan barat.
Kata khittah berasal dari akar kata khaththa, yang bermakna menulis dan merencanakan. Kata khiththah kemudian bermakna garis dan thariqah jalan”. Kata khiththah ini sangat dikenal kalangan masyarakat Nahdliyin, terutama sejak tahun 1984. Pada tahun 1984 itu, NU menyelenggarakan Muktamar ke-27 di Situbondo. Muktamarin berhasil memformulasikan garis-garis perjuangan NU yang sudah lama ada ke dalam formulasi yang disebut sebagai “Khittah NU”. Sekarang, kata ini telah umum dipakai, tidak sebatas komunitas NU. Penggunaan maknanya mengacu pada prinsip, dasar ataupun pokok. Sebagai formulasi yang kemudian menjadi rumusan “Khittah NU”, maka tahun 1984 bukan tahun kelahirannya. Kelahiran khittah NU sebagai garis, nilai-nilai, dan jalan perjuangan, ada bersamaan dengan tradisi dan nilai-nilai di pesantren dan masyarakat NU. Keberadaannya jauh sebelum tahun 1984, bahkan juga sebelum NU berdiri sekalipun dalam bentuk tradisi turun temurun dan melekat secara oral dan penggunaan kata “Khittah NU”, kadang-kadang juga digunakan kata “Khittah 26”. Kata “khittah 26” ini merujuk pada garis, nilai-nilai, dan model perjuangan NU yang dipondasikan pada tahun 1926 ketika NU didirikan. Pondasi perjuangan NU tahun 1926 adalah sebagai gerakan sosial-keagamaan. Hanya saja, garis perjuangan sosial keagamaan ini, mengalami perubahan ketika NU bergerak di bidang politik praktis. Pengalaman NU ke dalam politik praktis, terjadi ketika NU menjadi partai politik sendiri sejak 1952. Setelah itu NU melebur ke dalam PPP Partai Persatuan Pembangunan sejak 5 Januari 1973. Ketika NU menjadi partai politik, banyak kritik yang muncul dari kalangan NU sendiri, yang salah satunya menyebutkan bahwa “elit-elit politik” dianggap tidak banyak mengurus umat. Kritik-kritik ini berujung pada perjuangan dan perlunya kembali kepada kembali pada khittah sudah diusahakan sejak akhir tahun 1950-an. Contohnya, pada Muktamar NU ke-22 di Jakarta tanggal 13-18 Desember 1959, seorang wakil cabang NU Mojokerto bernama KH Achyat Chalimi telah menyuarakannya. KH. Achyat mengingatkan peranan partai politik NU telah hilang, diganti perorangan, hingga partai sebagi alat sudah kehilangan kekuatannya. Kiai Achyat mengusulkan agar NU kembali ke khittah pada tahun 1926. Hanya saja, usul itu tidak diterima sebagai keputusan "pro jam`iyah" pada tahun 1960 menggunakan warta berkala Syuriyah untuk menyuarakan perlunya NU kembali ke khittah. Gagasan agar NU kembali ke khittah juga disuarakan kembali pada Muktamar NU ke-23 tahun 1962 di Solo. Akan tetapi gagasan tersebut banyak ditentang oleh muktamirin yang memenangkan NU sebagai partai politik. Pada Muktamar NU ke-25 di Surabaya tahun 1971, gagasan mengembalikan NU ke khittah muncul kembali dalam khutbah iftitâh Rais Am, KH. Abdul Wahab Hasbullah. Saat itu Mbah Wahab mengajak muktamirin untuk kembali ke Khittah NU 1926 sebagai gerakan sosial-keagamaan. Akan tetapi kehendak muktamirin, lagi-lagi, tetap mempertahankan NU sebagai partai kembali ke khittah semakin mendapat tempat pada Muktamar NU ke-26 di Semarang 5-11 Juni 1979. Meski Muktamirin masih mempertahankan posisi NU sebagai bagian dari partai politik di dalam PPP, tetapi muktamirin menyetujui program yang bertujuan menghayati makna dan seruan kembali ke khittah 26. Di Semarang ini pula tulisan KH. Achmad Shidiq tentang Khittah Nahdliyah telah dibaca aktivis-aktivis NU dan ikut mempopulerkan kata khittah. Gagasan kembali ke Khittah NU semakin nyata setelah Munas Alim Ulama di Kaliurang tahun 1981 dan di Situbondo tahun 1983. Pada Munas Alim Ulama di Situbono itu bahkan dibentuk “Komisi Pemulihan Khittah NU”. Komisi ini dipimpin KH Chamid Widjaya, sekretaris HM Said Budairi, dan wakil sekretaris H. Anwar Nurris. Komisi ini berhasil menyepakati “Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila,” kedudukan ulama di dalamnya, hubungan NU dan politik, dan makna Khittah NU 1926. Hasil-hasil dari Munas Alim Ulama ini kemudian ditetapkan sebagi hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984 setelah melalui diskusi dan perdebatan yang intens. Muktamar NU di Situbondo inilah yang berhasil memformulasikan rumusan Khittah rumusan Khittah NU di Situbondo ini sangat monumental karena menegaskan kembalinya NU sebagai jam`iyah diniyah-ijtima`iyah. Rumusan ini mencakup pengertian Khittah NU, dasar-dasar paham keagamaan NU, sikap kemasyarakatan NU, perilaku yang dibentuk oleh dasar-dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan NU, ihtiar-ihtiar yang dilakukan NU, fungsi ulama di dalam jam`iyah, dan hubungan NU dengan bangsa. Dalam formulasi itu, ditegaskan pula bahwa jam`iyah secara orgnistoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatn manapun. Sementara dalam paham keagamaan, NU menegaskan sebagai penganut Ahlussunnah Waljama`ah dengan mendasarkan pahamnya pada sumber Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Dalam menafsirkan sumber-sumber itu, NU menganut pendekatan madzhab dengan mengikuti madzhab Ahlussunnah Waljama`ah Aswaja di bidang akidah, fiqih dan bidang akidah, NU mengikuti dan mengakui paham Aswaja yang dipelopori Imam Abu Hasan al-Asy`ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Di bidang fiqih NU mengakui madzhab empat sebagai paham Aswaja yang masih bertahan sampai saat ini. Di bidang tasawuf NU mengikuti imam al-Ghazali, Junaid al-Baghdadi, dan imam-imam lain. Dalam penerapan nilai-nilai Aswaja, Khittah NU menjelaskan bahwa paham keagamana NU bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik dan sudah ada. NU dengan tegas menyebutkan tidak bermaksud menghapus nilai-nilai tersebut. Dari sini aspek lokalitas NU sangat jelas dan sikap kemasyarakatan, Khittah NU menjelaskan 4 prinsip Aswaja tawasut sikap tengah dan i’tidal berbuat adil, tasamuh toleran terhadap perbedaan pandangan, tawazun seimbang dalam berkhidmat kepada Tuhan, masyarakat, dan sesama umat manusia, dan amar ma’ruf nahi munkar mengajak kepada kebaikan dan mencegah keburukan.Fungsi ulama juga ditegaskan kembali oleh Khittah NU sebagai rantai pembawa paham Islam Ahlussunnah Waljama`ah. Ulama dalam posisi itu ditempatkan sebagai pengelola, pengawas, dan pembimbing utama jalannya organisasi. Fungsi ulama ini tidak dimaksudkan sebagai penghalang kreativitas, tetapi justru sebaliknya untuk mengawal kreativitas. Dalam hubungannya dengan kreativitas itu, Khittah NU menyebutkan bahwa jam`iyah NU harus siap menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa kemaslahatan; menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong, memacu, dan mempercepat perkembangan masyarakat; menjunjung tinggi kebersamaan masyarakat; menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan para NU juga menegaskan aspek penting kaitannya dengan bangsa. Dalam soal ini, setiap warga NU diminta menjadi warga negara yang senantiasa menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 45. Sebagai bagian dari umat Islam Indonesia, masyarakat NU diminta senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan, tasamuh, kebersamaan dan hidup berdampingan. Ini disadari karena Indonesia dan umat Islam Indonesia sendiri sangat sekali cita-cita Khittah NU yang diformulasikan tahun 1984 itu begitu luhur. Juga tampak Khittah NU menegaskan posisinya sebagai gerakan sosial keagamaan yang akan mengurus masalah-masalah umat. Hanya saja, dalam praktik, tarikan politik praktis selalu menjadi dinamika yang mempengaruhi eksistensi jam`iyah NU. Di titik-titik demikian, Khittah NU selalu menghadapi kenyataan krisis, pertarungan internal, dan sekaligus dinamis di tengah kebangsaan dan dunia global. [Nur Kholik Ridwan]
LatarBelakang Perumusan Khittah Nahdliyah Gagasan untuk merumuskan khittah NU baru muncul sekitar tahun 1975-an, ketika NU sudah kembali menjadi jam'iyyah diniyah. (organisasi sosial keagamaan). Karena sebelumnya NU memfusikan fungsi politik praktisnya ke dalam PPP, sebagai tindak lanjut dari langkah penyederhanaan partai-partai di Indonesia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang NU mencakup tujuan pendirian NU, gerakan-gerakan NU dan lain-lain. Ada Perbincangan Khittah NU sering dikaitkan dengan urusan politik. Sementara, cakupan Khittah NU 1926 pada dasarnya tidak hanya menerangkan ihwal hubungan organisasi NU dengan politik, tetapi juga hal-hal mendasar terkait soal ibadah kepada Allah Swt dan kemasyarakatan. Khittah anggapan, hal ini sudah mulai dilupakan banyak orang. Seringkali, bicara Khittah NU 1926 hanya dikaitkan hubungan NU dengan PKB, PKNU, PPP dan partai politik lain. Padahal khittah bukan sebatas itu, dan mencakup tema-tema yang luas seluas wilayah kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Menurut Kyai Muchit, Khittah NU 1926 merupakan dasar agama warga NU, akidahnya, syariatnya, tasawufnya, faham kenegaraannya, dan lain-lain. Pada Muktamar Ke-27 NU di Situbondo, Jawa Timur, pada pasal pengertian khittah menyebutkan, Khitthah NU 1926 merupakan landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi. Dalam hal ini penulis akan membahas tentang khittah NU dan sejarah gerakan NU. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah Latar Belakang kembali Ke Khittah? 2. Apakah Mabadi Khaira Ummah Itu ? 3. Bagaimana Gerakan Politik NU Setelah Khittah? 4. Bagaimana Gerakan Kultur NU? BAB II PEMBAHASAN KHITTAH NU 1926 A. Latar Belakang Kembali Ke khittah Pada Muktamar Ke-27 tahun 1984 secara resmi NU kembali ke Khittah NU 1926. Ini ditandai keluarnya NU dari PPP. Dan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan sebagaimana saat didirikan, 31 Januari 1926. NU mencakup tujuan pendirian NU, gerakan-gerakan NU dan lain-lain. Ada Perbincangan Khittah NU sering dikaitkan dengan urusan politik. Sementara, cakupan Khittah NU 1926 pada dasarnya tidak hanya menerangkan ihwal hubungan organisasi NU dengan politik, tetapi juga hal-hal mendasar terkait soal ibadah kepada Allah Swt dan kemasyarakatan. Khittah anggapan, hal ini sudah mulai dilupakan banyak orang. Seringkali, bicara Khittah NU 1926 hanya dikaitkan hubungan NU dengan PKB, PKNU, PPP dan partai politik lain. Padahal khittah bukan sebatas itu, dan mencakup tema-tema yang luas seluas wilayah kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Menurut Kyai Muchit, Khittah NU 1926 merupakan dasar agama warga NU, akidahnya, syariatnya, tasawufnya, faham kenegaraannya, dan lain-lain. Pada Muktamar Ke-27 NU di Situbondo, Jawa Timur, pada pasal pengertian khittah menyebutkan, Khitthah NU 1926 merupakan landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi. Juga daIam setiap proses pengambilan keputusan. Landasan tersebut ialah faham Islam Ahlussunnah wal Jama'ah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia. Ini meliputi dasar-dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan. Khitthah NU 1926 yang digali dari intisari perjalanan sejarah khidmahnya dari masa ke masa. Dalam praksisnya, Khittah NU 1926, misal, terkait dengan persoalan Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Dalam pandangan Khittah NU 1926, NKRI sudah final. NU tidak sepakat dengan pemberlakukan hukum Islam secara legal formal. Selain itu, menurut keputusan Muktamar Ke-27 juga disebutkan, NU sebagai organisasi keagamaan, merupakan bagian tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia. Khittah NU 1926 juga melandasi praksis hubungan kemasyarakatan yang senantiasa memegang teguh prinsip persaudaraan, toleransi, kebersamaan dan hidup berdampingan baik dengan sesama warga negara dengan keyakinan atau agama lain untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis. Kini, banyak orang memunculkan gagasan, perlunya membumikan Khittah NU 1926 dalam tatara yang lebih praktis, lebih konteks, dan lebih memberi daya dorong dalam beragam persoalan. Khittah NU 1926 dirasakan masih ”abstrak” dan ”imajiner” dibandingkan dengan sebagai ruh yang mampu memberi daya dorong dalam segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara. B. Mabadi Khaira Ummah a. Pengertian mabadi khaira ummah Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan umat terbaik. Gerakan Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan “umat terbaik” Khaira Ummah yaitu suatu umat yang mampu melaksanakan tugas-tugas amar makruf nahi mungkar yang merupakan bagian terpenting dari kiprah NU karena kedua sendi mutlak diperlukan untuk menopang terwujudnya tata kehidupan yang diridlai Allah SWT. Sesuai dengan cita-cita NU, Amar ma’ruf adalah mengajak dan mendorong perbuatan baik yang bermanfaat bagi kehidupan duniawi dan ukhrawi, sedangkan nahi mungkar adalah menolak dan mencegah segala hal yang dapat merugikan, merusak dan merendahkan, nilai-nilai kehidupan dan hanya dengan kedua sendi tersebut kebahagiaan lahiriah dan bathiniyah dapat tercapai. Prinsip dasar yang melandasinya disebut “Mabadi Khaira Ummah”. Kalimat Khaira Ummah diambil dari kandungan Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 110 yang artinya Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.QS. Ali Imran [3]110. b. Tujuan Mabadi Khaira Ummah Sebagaimana dijelaskan di atas, gerakan Mabadi Khaira Ummah yang pertama dahulu diarahkan kepada penggalangan warga untuk mendukung program pembangunan ekonomi NU. Program ini telah menjadi perhatian serius pula saat ini, sebagaimana hasil Kongres NU ke-28. Sementara itu kebutuhan strategis NU dewasa ini pun semakin berkembang. NU telah tumbuh menjadi satu organisasi massa besar. Tetapi, meskipun tingkat kohesi kultural di antara warga tinggi, kita tidak dapat mengingkari kenyataan, betapa lamban proses pengembangan tata organisasinya. Di hampir semua tingkat kepengurusan dan realisasi program masih terlihat kelemahan manajemen sebagai problem serius. Menyongsong tugas-tugas berat di massa datang, persoalan pembinaan tata organisasi ini perlu segera ditangani. Jika ditelaah lebih mendalam, nyatalah bahwa prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam Mabadi Khaira Ummah tersebut memang amat relevan dengan dimensi personal dalam pembinaan manejemen organisasi, baik organisasi usaha bisnis maupun organisasi sosial. Manajemen organisasi yang baik membutuhkan sumber daya manusia yang tidak saja terampil, tetapi juga berkarakter terpuji dan bertanggung jawab. Dalam pembinaan organisasi NU, kualitas sumber daya manusia semacam ini jelas dibutuhkan. Dengan demikian, gerakan Mabadi Khaira Ummah tidak saja relevan dengan program pengembangan ekonomi, tetapi juga pembinaan organisasi pada umumnya. Kedua hal ini yang akan menjadi arah strategis pembangkitan kembali gerakan Mabadi Khaira Ummah kita nantinya, di samping bahwa sumber daya manusia yang dapat dikembangkan melalui gerakan ini pun akan menjadi kader-kader unggul yang siap berkiprah aktif dalam mengikhtiyarkan kemashlahatan umat, bangsa dan negara pada umumnya. c. Butir-Butir Mabadi Khaira Ummah Dan Pengertiannya Yang perlu dicermati selanjutnya dalah perbedaan konteks zaman antara massa gerakan Mabadi Khaira Ummah pertama kali dicetuskan dan masa kini. Melihat besar dan mendasarnya perubahan sosial yang terjadi dalam kurun sejarah tersebut, tentulah perbedaan konteks itu membawa konsekuensi yang tidak kecil. Demikian pula halnya dengan perkembangan kebutuhan-kebutuhan internal NU sendiri. Oleh karenanya perlu dilakukan beberapa penyesuaian dan pengembangan dari gerakan Mabadi Khaira Ummah yang pertama agar lebih jumbuh dengan konteks kekinian. Konsekuensi-konsekuensi dari berbagai perkembangan itu akan menyentuh persoalan arah dan titik tolak gerakan serta strategi pelaksanaannya. Di atas telah dijelaskan pengembangan kerangka tujuan bagi gerakan ini. Berkaitan dengan itu pula, diperlukan penyesuaian dan pengembangan yang menyangkut butir-butir yang dimasukkan dalam Mabadi khaira Ummah dan spesifikasi pengertiannya. Jika semula Mabadi Khaira Ummah hanya memuat tiga butir nilai seperti telah disebut di atas, dua butir lagi perlu ditambahkan untuk mengantisipasi persoalan dan kebutuhan kontemporer. Kedua butir itu adalah al-Adalah dan al-Istiqamah. Dengan demikian, gerakan Mabadi Khaira Ummah kita ini akan membawa lima butir nilai yang dapat pula disebut sebagai “Al-Mabadi Al-Khamsah”. Berikut ini adalah uraian pengertian yang telah dikembangkan dari kelima butir “Al-Mabadi Al-Khamsah” tersebut disertai kaitan dengan orientasi-orientasi spesifiknya, sesuai dengan kerangka tujuan yang telah dijelaskan di atas 1. As-Shidqu Butir ini mengandung arti kejujuran/kebenaran, kesungguhan dan keterbukaan. Kejujuran/kebenaran adalah satunya kata dengan perbuatan, ucapan dengan pikiran. Apa yang diucapkan sama dengan yang di bathin. Jujur dalam hal ini berarti tidak plin-plan dan tidak dengan sengaja memutarbalikkan fakta atau memberikan informasi yang menyesatkan. Dan tentu saja jujur pada diri sendiri. Termasuk dalam pengertian ini adalah jujur dalam bertransaksi dan jujur dalam bertukar pikiran. Jujur dalam bertransaksi artinya menjauhi segala bentuk penipuan demi mengejar keuntungan. Jujur dalam bertukar pikiran artinya mencari mashlahat dan kebenaran serta bersedia mengakui dan menerima pendapat yang lebih baik. Dalil-dalil yang berkaitan dengan hal ini adalah “Dusta itu bukanlah yang memperbaiki di kalangan manusia, lalu menumbuhkan kebaikan atau berbicara baik” Muttafaq alaih 2. Al-Amanah wal-Wafa bil ahd Butir ini memuat dua istilah yang saling terkait, yakni al-amanah dan al-wafa’ bil ’ahdi. Yang pertama secara lebih umum maliputi semua beban yang harus dilaksanakan, baik ada perjanjian maupun tidak, sedang yang disebut belakangan hanya berkaitan dengan perjanjian. Kedua istilah ini digambungkan untuk memperoleh satu kesatuan pengertian yang meliputi dapat dipercaya, setia dan tepat janji. Dapat dipercaya adalah sifat yang diletakkan pada seseorang yang dapat melaksanakan semua tugas yang dipikulnya, baik yang bersifat diniyah maupun ijtima’iyyah. Dengan sifat ini orang menghindar dari segala bentuk pembekalaian dan manipulasi tugas atau jabatan. 3. Al-Adalah Bersikap adil al’adalah mengandung pengertian obyektif, proposional dan taat asas. Bitir ini mengharuskan orang berpegang kepad kebenaran obyektif dan memnempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Distorsi penilaian sangat mungkin terjadi akibat pengaruh emosi, sentimen pribadi atu kepentingan egoistic. Distorsi semacam ini dapat menjeruamuskan orang kedalam kesalahan fatal dalam mengambil sikap terhadap suatu persolan. Buntutnya suadah tentu adalah kekeliruan bertindak yang bukan saja tidak menyelesaikan masalah, tetapi bahkan menambah-nambah keruwetan. Lebih-lebih jika persolan menyangkut perselisihan atau pertentangan diantara berbagai pihak. Dengan sikap obyektif dan pro[osional distorsi semacam ini dapat dihindarkan. 4. At-Ta'awun At-ta’awun merupakan sendi utama dalam tata kehidupan masyarakat manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan pihak lain. Pengertia ta'awun meliputi tolong menolong, setia kawan dan gotong royong dalam kebaikan dan taqwa. Imam al-Mawardi mengaitkan pengertia al-birr kebaikan dengan kerelaan manusia dan taqwa dengan ridla Allah SWT. Memperoleh keduanya berarti memperoleh kebahagiaan yang sempurna. Ta'awun juga mengandung pengertian timbal balik dari masing-masing pihak untuk memberi dan menerima. Oleh karena itu, sikap ta'awun mendorong setiap orang untuk berusaha dan bersikap kreatif agar dapat memiliki sesuatu yang dapat disumbangkan kepada orang lain dan kepada kepentingan bersama. Mengembangkan sikap ta'awun berarti juga mengupayakan konsolidasi. 5. Istiqamah Istiqamah mengandung pengertian ajeg-jejeg, berkesinambungan, dan berkelanjutan. Ajeg-jejeg artinya tetap dan tidak bergeser dari jalur thariqah sesuai dengan ketentuan Allah SWT dan rasul-Nya, tuntunan yang diberikan oleh salafus shalih dan aturan main serta rencana-rencana yang disepakati bersama. Kesinambungan artinya keterkaitan antara satu kegiatan dengan kegaiatan yang lain dan antara satu periode dengan periode yang lain sehingga kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dan saling menopang seperti sebuah bangunan. Sedangkan makna berkelanjutan adalah bahwa pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut merupakan proses yang berlangsung terus menerus tanpa mengalami kemandekan, merupakan suatu proses maju progressing bukannya berjalan di tempat stagnant. C. Gerakan Politik NU Setelah Khittah Nahdlatul Ulama NU berdiri 1926 adalah sebagai organisasi kemasyarakatan atau jam’iyah, bukan partai politik, bukan institusi politik, tapi tak bisa dipungkiri dan dihindarai bahwa sejak kelahirannya NU telah bersinggungan dengan ruang politik. Pada tahun 1940-1943 NU masuk MIAI yang kemudian menjadi Masyumi. Masyumi dibentuk dimaksudkan untuk menciptakan kekuatan besar bagi umat Islam. Tahun 1945 Raisul Akbar Hadrotussyaikh KH Hasyim As’ary mengeluarkan fatwa resolusi jihad untuk menghadapi tentara nicca belanda. Dan pada tahun-tahun berikutnya NU juga tak tinggal diam menghadapi PKI. Ada satu hal yang perlu dicatat bahwa, kelahiran NU itu sendiri sebagai respon atas munculnya Islam wahabisme atau Islam reformis yang menyatakan dirinya sebagai kaum pambaharu Islam. Melihat sisi historis demikian maka boleh dikata semenjak kelahirannya NU telah berpolitik, barulah pada tahun 1952 Muktamar NU ke 19 di palembang, NU resmi menyatakan diri sebagai partai politik setelah keluar dari Masyumi. Dari pemilu 1955 sampai pemilu 1971 NU berhasil meraih suara cukup menggembirakan, NU benar-benar bermain di arena politik, NU punya bargaining cukup tinggi, NU punya banyak wakil di DPR, para ulama sepuh NU juga masih banyak. sampai disini NU masih berjaya. Barulah pada tahun 1973 NU mulai melewati masa awal perpecahan. Semua partai Islam termasuk NU harus fusi dalam satu partai yaitu Partai Persatuan PembangunanPPP. PPP tak ubahnya seperti Masyumi dulu, perselisihan antar kelompok dalam tubuh PPP terus terjadi tak kunjung usai. Kasus yang terjadi di PPP serupa dengan yang terjadi di Masyumi – NU selalu dimarjinalkan. NU dalam posisi rumit, bikin partai tak boleh, memperbaiki PPP juga suatu hal yang sangat sulit karena PPP dan PDI saat itu merupakan boneka orde baru. Disinilah titik awal dimulainya perpecahan warga NU, dimana pemerintah Orba salah satu factor utama dalam penghancuran NU. NU selanjutnya hanya berpolitik secara moral yang sulit dipertanggungjawabkan hasilnya. NU kemudian hanya menitipkan para kadernya di PPP, sedang NU sendiri hanya bisa bermain diluar arena. Pola dukung mendukung oleh NU mulai dijalankan. NU terkadang bermetamorfosa dari hijau menjadi merah ketika Gus Dur mendekati Mega yang waktu itu kita kenal dengan istilah Mega-Gus Dur untuk menandingi PDI Suryadi. Atau terkadang NU berubah ujud dari hijau ke kuning ketika Gus Dur mengajak warganya untuk mengikuti Istighotsah NU-Golkar di berbagai daerah beberapa tahun silam sebelum reformasi. Setelah reformasi bergulir, sepertinya ada harapan besar bagi NU untukmengembalikan kejayaan NU dimasa silam. Toh demikian masih terlalu berat jika NU menjelma menjadi partai. NU akhirnya mendirikan PKB dimana PKB diharapkan menjadi satu-satunya partai NU yang berakses ke PBNU. NU sendiri bukanlah partai tapi NU punya sayap politik yaitu PKB. Betapa hebat respon masyarakat terhadap lahirnya PKB, Ini wajar saja karena warga NU benar-benar haus dengan partai NU setelah 32 tahun NU dipinggirkan. Namun tampaknya harapan hanya tinggal harapan, PKB yang diharapkan menjadi sayap politik NU justeru berjalan sendiri bahkan senantiasa berseberangan dengan NU structural. Antara PKB dan NU mulai ada tanda-tanda kurang serasi, PKB memecat ketuanya yaitu Matori Abdul jalil yang sebenarnya NU tidak menghendaki. Ketidak serasian NU-PKB ini diperuncing lagi ketika NU punya gawe mencalonkan Hasyim Muzadi menjadi cawapres Mega. Dengan susah payah NU menggerakkan warganya dari tingkat PW-PC-MWC bahkan sampai ketingkat ranting untuk mengegolkan jagonya yaitu Hasyim Muzadi menjadi Cawapres, tapi PKB saat itu justeru mendukung Wiranto-Wahid dari Golkar, diteruskan pada pilpres putaran kedua PKB mendukung SBY-JK. Cukup sudah PKB menyodok NU saat itu. Mulai dari itu PKB dianggap bukan lagi partai sayap politik NU karena PKB terlalu jauh meninggalkan NU. Carut-marut perpolitikan NU saat ini sudah sangat rumit. Musuh sudah pakai senjata api kita masih berebut senjata bambu. Sederet pertanyaan inilah yang mungkin akan terjawab dalam muktamar NU mendatang. D. Gerakan Kultur NU NU sebagai organisasi masa Islam, sampai sekarang masih menjadi bahasan yang menarik di dunia akademik. Banyak peneliti asing yang tertarik dengan NU, di antaranya Martin van Bruinessen, Greg Barton, Greg Fealy, Ben Anderson, Mitsuo Nakamura dan lain sebagainya. Mereka tertarik kultur NU dengan ketradisionalannya yang dianggap eksotik. Berbeda dengan aliran Islam lainnya, NU sangat menghargai tradisi dan kebudayaan setempat. Para peneliti ini mengikuti penelitian Antropologis yang sebelumnya pernah dilakukan. Mereka adalah Clifford Gertz, Andrew Beautty, Mark R. Woodward, Robert Hefner dan antropolog lainya yang memfokuskan pada agama Jawa. Karya-karya yang dihasilkan oleh para peneliti ini hingga sekarang cukup populer dan selalu menjadi rujukan di dunia akademis baik di Indonesia maupun di luar negeri. Dalam konteks seperti ini, NU menjadi obyek penelitian. Para peneliti inilah yang memiliki otoritas untuk merepresentasikan NU, baik itu berupa sejarah, komunitas, perilaku, dan masa depan NU. Sebagai obyek penelitian, tentunya NU sama sekali tidak memiliki otoritas dalam merepresentasikan dirinya. Hasil-hasil penelitian beberapa peneliti ini, bukan tidak berdampak pada perkembangan Islam di Indonesia. Kita perlu menyadari bersama bahwa peneliti Barat bukan hanya sekedar meneliti atas nama pengetahuan belaka. Mereka datang untuk meneliti sekaligus membuat bangunan epistemologi gerakan Islam. Sehingga wajar jika gerakan Islam di Indonesia semakin bias kepentingan. BAB III KESIMPULAN Dari uraian diatas maka penulis dapat menyimpulkan tentang Khittah NU yaitu 1. Pada Muktamar Ke-27 tahun 1984 secara resmi NU kembali ke Khittah NU 1926. Ini ditandai keluarnya NU dari PPP. Dan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan sebagaimana saat didirikan, 31 Januari 1926. 2. Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan umat terbaik. Gerakan Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan “umat terbaik” Khaira Ummah yaitu suatu umat yang mampu melaksanakan tugas-tugas amar makruf nahi mungkar yang merupakan bagian terpenting dari kiprah NU karena kedua sendi mutlak diperlukan untuk menopang terwujudnya tata kehidupan yang diridlai Allah SWT. 3. Setelah Khittah NU tidak lagi ikut secara aktif dalam politik praktis tetapi lebih kepada politik taktis. 4. gerakan kultur NU lebih kepada upaya pemertahanan tradisi atau budaya. DAFTAR PUSTAKA Abuddin Nata, Teologi Islam, Modul Penyetaraan Universitas Terbuka, Departemaen Agama 1997. AD dan ART Nahdlatul Ulama Hasanuddin, Dkk, Pendidikan ke-NU-an ASWAJA, CV Al-Ihsan, Surabaya 1992. Pustaka Ma’arif NU, Islam Ahlussunnah Wal Jamaah Di Indonesia, Jakarta, 2007.
Bagaimanalatar belakang munculnya gagasan kembali ke khittah - 49808756 cima8030 cima8030 17.02.2022 Sejarah Sekolah Menengah Pertama terjawab Bagaimana latar belakang munculnya gagasan kembali ke khittah 1 Lihat jawaban Iklan
Bagaimana Latar Belakang Munculnya Gagasan Kembali Ke Khittah – Gagasan kembali ke Khittah telah lama ada di sepanjang sejarah umat manusia. Ini merupakan tanggapan atas perubahan dan pergeseran nilai-nilai yang terjadi dalam masyarakat. Pemikiran ini mengacu pada nilai-nilai dan asas-asas yang dicontohkan oleh orang-orang suci dan nabi-nabi di masa lalu. Gagasan ini juga bertujuan untuk mengembalikan kehidupan manusia kepada nilai-nilai yang bersifat universal. Latar belakang munculnya gagasan ini bermula dari masa purba, ketika manusia mencoba untuk mencari cara untuk menjalani hidup yang tepat. Mereka melakukan ini dengan menetapkan nilai-nilai moral dan etika, yang dianggap sebagai panduan dalam menjalani hidup. Panduan ini diturunkan dari generasi ke generasi, dan menjadi bagian dari tradisi budaya. Di masa modern, pergeseran nilai-nilai yang terjadi dalam masyarakat telah menyebabkan manusia kehilangan orientasi dan arah hidup yang benar. Akibatnya, banyak orang yang merasa bingung dan tidak tahu bagaimana menjalani hidup dengan benar. Gagasan kembali ke Khittah muncul sebagai tanggapan atas masalah ini, dengan mengajak manusia untuk kembali ke nilai-nilai dan asas-asas yang telah ada sejak lama. Gagasan ini mengingatkan kita pada nilai-nilai suci dan nabi-nabi yang telah mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, dan perhatian yang harus diberikan terhadap sesama. Gagasan kembali ke Khittah juga mengingatkan kita tentang pentingnya menghargai hakikat bahwa semua manusia sama, dan bahwa kita tidak boleh mengabaikan kebutuhan dan hak-hak sesama manusia. Gagasan ini mempromosikan nilai-nilai persaudaraan, keadilan, dan kesetaraan. Gagasan kembali ke Khittah yang ditawarkan ini menggambarkan betapa pentingnya menjalani hidup dengan bijak. Gagasan ini juga mengingatkan kita bahwa sebagai manusia, kita harus menjunjung tinggi nilai-nilai universal yang telah dicontohkan oleh orang-orang suci dan nabi-nabi di masa lalu. Gagasan ini juga menggambarkan betapa pentingnya saling menghargai dan menghormati antar sesama manusia, melalui keadilan dan kesetaraan. Gagasan ini telah muncul di masa lalu dan masih relevan di masa kini. Daftar Isi 1 Penjelasan Lengkap Bagaimana Latar Belakang Munculnya Gagasan Kembali Ke 1. Gagasan kembali ke Khittah merupakan tanggapan atas perubahan dan pergeseran nilai-nilai yang terjadi dalam 2. Gagasan ini mengacu pada nilai-nilai dan asas-asas yang dicontohkan oleh orang-orang suci dan nabi-nabi di masa 3. Gagasan ini bertujuan untuk mengembalikan kehidupan manusia kepada nilai-nilai yang bersifat 4. Gagasan ini mengingatkan kita pada nilai-nilai suci dan nabi-nabi yang telah mengajarkan nilai-nilai 5. Gagasan ini mempromosikan nilai-nilai persaudaraan, keadilan, dan 6. Gagasan ini mengingatkan kita tentang pentingnya menghargai hakikat bahwa semua manusia 7. Gagasan ini menggambarkan betapa pentingnya menjalani hidup dengan bijak dan menghormati sesama 8. Gagasan ini telah muncul di masa lalu dan masih relevan di masa kini. 1. Gagasan kembali ke Khittah merupakan tanggapan atas perubahan dan pergeseran nilai-nilai yang terjadi dalam masyarakat. Latar Belakang Munculnya Gagasan Kembali Ke Khittah Gagasan kembali ke Khittah adalah gagasan untuk mengembalikan nilai-nilai dan tatanan masyarakat kepada akar-akarnya yang diwariskan dari para nenek moyang. Gagasan ini muncul sebagai tanggapan terhadap perubahan dan pergeseran nilai-nilai yang terjadi dalam masyarakat. Pergeseran nilai-nilai ini dapat dilihat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam politik, sosial, budaya, agama, ekonomi, dan lainnya. Para pendukung gagasan kembali ke Khittah percaya bahwa nilai-nilai asli yang dianut oleh para nenek moyang sejak abad pertengahan telah tergeser dan diremukkan oleh arus globalisasi, modernisasi, dan globalisasi. Para pendukung gagasan ini berpendapat bahwa nilai-nilai asli yang dianut oleh para nenek moyang adalah nilai-nilai yang lebih baik dan lebih bermanfaat untuk masyarakat. Mereka berpendapat bahwa dengan mengikuti nilai-nilai asli tersebut, masyarakat dapat menjadi lebih sehat, lebih sejahtera, dan lebih harmonis. Nilai-nilai asli yang dianut oleh para nenek moyang dikenal sebagai Khittah. Khittah berasal dari bahasa Arab yang berarti “Tata Aturan”. Khittah dikenal sebagai peraturan yang mengatur kehidupan masyarakat, termasuk bagaimana masyarakat harus menjalankan kehidupan berdasarkan nilai-nilai moral, etika, dan religius. Khittah berfungsi sebagai basis bagi para pemimpin, masyarakat, dan negara untuk menetapkan standar nilai-nilai yang mengikat semua orang. Khittah menetapkan standar nilai-nilai yang harus diikuti oleh semua orang, baik secara individual maupun secara kolektif. Khittah tidak hanya berfokus pada masalah moral, etika, dan agama, tetapi juga mencakup aspek sosial dan politik. Gagasan kembali ke Khittah diluncurkan untuk memperbaiki pergeseran nilai-nilai yang telah terjadi dalam masyarakat. Para pendukung gagasan ini berpendapat bahwa nilai-nilai asli yang dianut oleh para nenek moyang adalah nilai-nilai yang lebih baik dan lebih bermanfaat untuk masyarakat. Dengan mengikuti nilai-nilai asli tersebut, masyarakat dapat menjadi lebih sehat, lebih sejahtera, dan lebih harmonis. Gagasan kembali ke Khittah telah diterima dengan baik oleh masyarakat dan telah menjadi bagian dari budaya masyarakat di berbagai belahan dunia. Gagasan ini telah menginspirasi masyarakat untuk menjadi lebih bertanggung jawab terhadap nilai-nilai yang dianut oleh nenek moyang mereka. Gagasan ini telah menginspirasi masyarakat untuk menjadi lebih peduli terhadap lingkungan dan untuk menjaga kelestarian alam yang telah diwariskan oleh para nenek moyang kita. Dengan demikian, gagasan kembali ke Khittah dapat menjadi pilar penting dalam membangun masyarakat yang lebih sehat, lebih sejahtera, dan lebih harmonis. 2. Gagasan ini mengacu pada nilai-nilai dan asas-asas yang dicontohkan oleh orang-orang suci dan nabi-nabi di masa lalu. Gagasan untuk kembali ke Khittah merujuk pada upaya untuk mengikuti nilai-nilai, asas-asas, dan tradisi yang dipraktikkan oleh orang-orang suci dan nabi-nabi di masa lalu. Ini dapat dilihat sebagai upaya untuk menyatukan agama, yang juga dapat dilihat sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah sosial yang ada di masyarakat. Ketika datang ke nilai dan asas yang dipraktikkan oleh orang-orang suci dan nabi-nabi di masa lalu, mereka secara umum percaya bahwa orang harus merenungkan semua tujuan hidup mereka dan menciptakan tujuan yang berdasarkan nilai-nilai moral yang universal. Mereka juga percaya bahwa seseorang harus berusaha untuk memenuhi tujuan-tujuannya dengan cara yang saling menghormati dan menghargai orang lain. Selain itu, orang-orang suci dan nabi-nabi di masa lalu juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara kebutuhan pribadi dan kebutuhan orang lain. Mereka juga menekankan pentingnya menghormati hak-hak asasi manusia, seperti hak untuk bersuara, hak untuk mendapatkan pendidikan, dan hak untuk hidup dalam lingkungan yang aman. Gagasan untuk kembali ke Khittah juga menekankan pentingnya berpartisipasi dalam kegiatan komunitas, seperti melakukan perawatan lingkungan, berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, dan membantu orang lain yang kurang mampu. Gagasan ini juga menekankan pentingnya menghormati dan menghargai perbedaan dalam budaya dan agama yang berbeda. Gagasan ini juga mempromosikan kesetaraan gender dan hak-hak wanita. Gagasan untuk kembali ke Khittah juga menekankan pentingnya membangun hubungan yang kuat dengan Tuhan dan menghormati Nilai-nilai moral yang universal. Gagasan ini menekankan pentingnya berbuat baik, menjalankan keadilan, dan menghormati hak-hak asasi manusia. Gagasan ini juga menekankan pentingnya menciptakan kesetaraan gender dan kesetaraan ekonomi. Gagasan untuk kembali ke Khittah juga menekankan pentingnya mengikuti nilai-nilai, asas-asas, dan tradisi yang dipraktikkan oleh orang-orang suci dan nabi-nabi di masa lalu. Gagasan ini menekankan pentingnya menghormati dan menghargai perbedaan dalam budaya dan agama yang berbeda. Gagasan ini juga mempromosikan kesetaraan gender dan hak-hak wanita. Gagasan ini juga menekankan pentingnya berbuat baik, menjalankan keadilan, dan menghormati hak-hak asasi manusia. 3. Gagasan ini bertujuan untuk mengembalikan kehidupan manusia kepada nilai-nilai yang bersifat universal. Gagasan kembali ke Khittah muncul saat manusia mulai menyadari bahwa peradaban modern mendorong kehidupan manusia menuju jalur yang tidak dapat dipertahankan. Gagasan ini didasarkan pada keyakinan bahwa manusia telah melangkah jauh dari nilai-nilai yang bersifat universal yang telah ada sejak awal pemikiran manusia. Gagasan ini berusaha untuk mengembalikan manusia kepada nilai-nilai tersebut. Dalam ajaran agama, Khittah merujuk pada “landasan” atau prinsip-prinsip yang menjadi dasar untuk peraturan moral dan hukum. Khittah dikenal dalam berbagai agama, termasuk Yahudi, Kristen, dan Islam. Khittah dikenal sebagai “Hukum Tuhan” atau “Hukum Alam”. Ide ini menyatakan bahwa semua manusia harus menaati hukum yang ditetapkan oleh Tuhan atau oleh alam semesta. Gagasan kembali ke Khittah adalah gagasan yang berusaha mengembalikan manusia kepada hukum-hukum tersebut. Gagasan ini berusaha untuk mengingatkan manusia bahwa nilai-nilai universal yang telah lama ada dalam peradaban manusia harus dihargai dan dipelihara. Gagasan ini bertujuan untuk mengembalikan kehidupan manusia kepada nilai-nilai yang bersifat universal. Nilai-nilai universal ini dipandang sebagai dasar untuk membangun sebuah masyarakat yang berdasarkan pada kasih sayang, keadilan, dan pemahaman yang saling menghormati. Gagasan kembali ke Khittah juga menekankan pentingnya mengembangkan moralitas manusia. Gagasan ini menekankan pentingnya meningkatkan kualitas hidup manusia dengan mempromosikan nilai-nilai seperti toleransi, perdamaian, dan kasih sayang. Gagasan ini juga menekankan pentingnya menghargai dan menghormati hak-hak asasi manusia, termasuk hak untuk hidup dengan aman dan bebas dari diskriminasi. Gagasan ini juga menekankan pentingnya meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan publik. Gagasan kembali ke Khittah merupakan gagasan yang bertujuan untuk mengembalikan kehidupan manusia kepada nilai-nilai yang bersifat universal. Dengan melakukan hal ini, diharapkan manusia dapat mencapai kondisi yang lebih baik dan masyarakat yang lebih beradab. Gagasan ini juga diharapkan dapat mempromosikan kasih sayang, toleransi, dan perdamaian di antara manusia. Dengan demikian, diharapkan manusia dapat hidup dalam suasana yang lebih damai dan aman. 4. Gagasan ini mengingatkan kita pada nilai-nilai suci dan nabi-nabi yang telah mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan. Gagasan kembali ke Khittah muncul dari usaha untuk menyatukan semua orang beragama di dunia. Khittah adalah suatu konsep yang menekankan pada kemanusiaan, persamaan dan kedamaian. Khittah merupakan konsep yang berasal dari ajaran agama dan filsafat, dan berfokus pada nilai-nilai universal yang melekat pada semua agama. Gagasan kembali ke Khittah muncul dari keinginan untuk menghindari konflik antar agama. Gagasan ini didasarkan pada pandangan bahwa setiap individu berhak atas kebebasan beragama. Gagasan ini juga menekankan bahwa setiap agama memiliki hak yang sama untuk berkembang dan berkontribusi secara positif dalam masyarakat. Selain itu, gagasan ini juga menekankan pentingnya toleransi, kerja sama, dan saling menghormati antar agama. Gagasan ini juga mengingatkan kita pada nilai-nilai suci dan nabi-nabi yang telah mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan. Nabi-nabi ini dari berbagai agama telah mengajarkan bahwa semua orang berhak mendapatkan perlindungan, kedamaian, dan keadilan. Mereka juga mengajarkan pentingnya toleransi, kerja sama, dan saling menghormati antar agama. Gagasan kembali ke Khittah juga menekankan pentingnya menghormati hak asasi manusia, yang merupakan hak yang diakui secara universal. Hak ini mencakup hak untuk memilih agama, beribadah, dan menyatakan pendapat. Gagasan ini juga menekankan pentingnya menghormati hak-hak lainnya, seperti hak untuk mencari nafkah, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk berpartisipasi secara politik, dan hak untuk menikmati kebebasan berpikir. Gagasan kembali ke Khittah merupakan usaha untuk menyatukan semua orang beragama dan mempromosikan nilai-nilai universal. Gagasan ini berfokus pada hak-hak asasi manusia, kerja sama antar agama, dan toleransi. Gagasan ini juga mengingatkan kita pada nilai-nilai suci dan nabi-nabi yang telah mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan menghormati dan menghargai nilai-nilai ini, kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan damai. 5. Gagasan ini mempromosikan nilai-nilai persaudaraan, keadilan, dan kesetaraan. Gagasan kembali ke Khittah adalah gagasan yang muncul dari komunitas Islam untuk mengembalikan nilai-nilai yang diyakini di masa lalu. Gagasan ini didorong oleh rasa frustrasi karena sebuah peradaban yang lebih luas telah menggeser nilai-nilai Islam selama bertahun-tahun. Gagasan ini juga dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pemikiran politik, sosial, dan ekonomi. Gagasan ini mulai berkembang di kalangan intelektual dan pemikir Islam di seluruh dunia. Mereka yang mendukung gagasan ini berpendapat bahwa nilai-nilai Islam telah hilang dari masyarakat modern dan bahwa ini adalah masalah yang perlu diselesaikan. Mereka mengusulkan bahwa cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan kembali ke Khittah. Khittah adalah konsep yang digunakan untuk merujuk pada tata kehidupan Islam yang diciptakan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Gagasan kembali ke Khittah berfokus pada peningkatan nilai-nilai persaudaraan, keadilan, dan kesetaraan di seluruh dunia. Ini dianggap sebagai cara yang tepat untuk mengembalikan martabat dan harga diri yang hilang dari komunitas Muslim. Gagasan ini menekankan pentingnya menghormati hak-hak asasi manusia, melindungi hak-hak kelompok yang lemah, dan menghormati hak-hak politik dan sosial. Gagasan ini juga menekankan pentingnya persatuan dan kerja sama antar umat manusia untuk membangun masyarakat yang lebih adil. Di dunia modern, gagasan ini telah mendapatkan perhatian yang cukup luas. Beberapa negara telah mengambil tindakan untuk meningkatkan nilai-nilai persaudaraan, keadilan, dan kesetaraan, dan beberapa organisasi yang dihormati juga telah mengadopsi gagasan ini. Namun, ada beberapa debat tentang sejauh mana gagasan ini dapat diimplementasikan di dunia modern. Beberapa pemikir menyarankan bahwa gagasan ini bisa menjadi cara yang efektif untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan setara, sementara yang lain berpendapat bahwa gagasan ini akan menghadapi berbagai tantangan di dunia modern. Meskipun demikian, gagasan kembali ke Khittah telah memberikan kontribusi yang besar dalam mempromosikan nilai-nilai persaudaraan, keadilan, dan kesetaraan. Gagasan ini telah membantu meningkatkan kesadaran akan hak asasi manusia dan meningkatkan pemahaman tentang bagaimana masyarakat dapat menciptakan sebuah masyarakat yang lebih adil. Gagasan ini juga telah memberikan kesempatan bagi banyak Muslim untuk melihat kembali dan mengevaluasi nilai-nilai yang diyakini di masa lalu untuk mencari cara yang lebih baik untuk membangun masyarakat yang lebih adil di masa depan. 6. Gagasan ini mengingatkan kita tentang pentingnya menghargai hakikat bahwa semua manusia sama. Gagasan Kembali ke Khittah’ adalah sebuah gerakan yang sedang digalakkan oleh pemimpin, pendidik, dan aktivis politik dari berbagai budaya dan latar belakang. Gerakan ini melihat kembali ke khittah, atau tujuan, yang menjadi asas kepada kehidupan berbangsa dan bernegara. Gagasan ini mengingatkan kita tentang pentingnya menghargai hakikat bahwa semua manusia sama. Gagasan ini mula berkembang pada tahun 1960-an, ketika sekumpulan intelektual, politikus, dan aktivis yang berasal dari berbagai latar belakang mula berfikir tentang bagaimana mereka boleh menyatukan masyarakat yang berbeza dan mendorong kemajuan sosial. Mereka melihat bahawa mereka harus mengembalikan kepada kepercayaan kuno yang menyatukan semua masyarakat dalam satu tujuan bersama. Gagasan ini telah menjadi salah satu ciri utama kepemimpinan presiden India, Narendra Modi. Beliau telah menyerapnya ke dalam strategi pembangunannya di India. Gagasan ini juga telah diadopsi oleh pemimpin-pemimpin lain di seluruh dunia. Selain itu, gagasan ini telah menjadi sebahagian daripada matlamat politik dan sosial di seluruh dunia. Gagasan ini menekankan hakikat bahawa semua manusia sama, tidak kira apa latar belakang mereka. Ia menggalakkan kesetaraan dan keadilan dalam semua bentuk interaksi antara manusia. Ia juga menggalakkan pengiktirafan hak asasi dan hak istimewa yang dimiliki oleh semua orang. Gagasan ini juga menggalakkan pengiktirafan hak-hak yang diperolehi oleh individu yang berasal daripada kumpulan minoriti atau komuniti yang sudah lama terpinggir. Ini termasuk hak untuk bertutur, bersuara, dan mengekspresikan diri secara bebas. Gagasan ini juga mengupas tentang pentingnya menjaga hak-hak minoriti, termasuk hak untuk berpartisipasi dalam proses politik, hak untuk berbicara dan mendapatkan pendidikan yang boleh meningkatkan taraf hidup mereka, dan hak untuk menerima perlindungan dari pelbagai bentuk diskriminasi. Gagasan ini juga menekankan tentang pentingnya membangunkan semangat perpaduan di kalangan manusia yang berbeza. Ini boleh dilakukan dengan menghormati perbezaan, menghargai keunikan mereka, dan meningkatkan pemahaman antara mereka. Gagasan Kembali ke Khittah’ adalah sebuah gerakan yang berfokus untuk menyatukan semua masyarakat dalam satu tujuan bersama, dan menghargai hakikat bahawa semua manusia sama. Ini melibatkan pengiktirafan hak asasi, hak istimewa, dan hak minoriti, serta penghormatan terhadap perbezaan dan keunikan setiap individu. Ia juga menekankan pentingnya meningkatkan hubungan antara manusia yang berbeza dan membangunkan semangat perpaduan. Ini adalah gagasan yang sangat penting untuk memastikan kesejahteraan dan keadilan bagi semua orang. 7. Gagasan ini menggambarkan betapa pentingnya menjalani hidup dengan bijak dan menghormati sesama manusia. Gagasan kembali ke Khittah adalah gagasan yang menekankan pentingnya mengikuti aturan dan nilai-nilai yang diterapkan oleh Rasulullah SAW. Gagasan ini muncul sebagai tanggapan atas krisis moral yang dialami oleh masyarakat Muslim saat ini. Gagasan ini menekankan pentingnya menjalani hidup dengan bijak dan menghormati sesama manusia. Gagasan ini diawali dengan perkembangan yang terjadi di kalangan masyarakat Muslim. Kebanyakan orang yang hidup di tengah-tengah masyarakat Muslim saat ini telah melupakan nilai-nilai yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Mereka tidak lagi menghormati sesama manusia dan menjalani hidup dengan bijak. Ini telah menyebabkan masyarakat Muslim menjadi korup dan tidak adil. Kemudian, para ulama dan pemikir Muslim menyadari bahwa masalah ini harus segera diselesaikan. Mereka menyadari bahwa masalah ini tidak bisa diatasi dengan cepat dan mereka memutuskan bahwa solusi terbaik adalah kembali ke Khittah. Khittah adalah aturan dan nilai-nilai yang diterapkan oleh Rasulullah SAW. Ulama dan pemikir Muslim yakin bahwa dengan kembali ke Khittah, masyarakat Muslim dapat kembali menjalani hidup dengan bijak dan menghormati sesama manusia. Gagasan ini telah mendapatkan dukungan luas dari berbagai kalangan. Di antara orang yang mendukung gagasan ini adalah para ulama dan pemikir Muslim, seperti Sayyid Qutb, Yusuf al-Qaradawi dan Muhammad Qutb. Mereka menekankan pentingnya menghormati sesama manusia dan menjalani hidup dengan bijak. Mereka juga menekankan pentingnya mengikuti aturan dan nilai-nilai yang diterapkan oleh Rasulullah SAW. Gagasan ini juga telah menarik perhatian berbagai lembaga organisasi internasional. PBB telah mendorong masyarakat Muslim untuk mengikuti aturan dan nilai-nilai yang diterapkan oleh Rasulullah SAW. Mereka menekankan pentingnya menghormati sesama manusia dan menjalani hidup dengan bijak. Gagasan kembali ke Khittah menggambarkan betapa pentingnya menjalani hidup dengan bijak dan menghormati sesama manusia. Gagasan ini telah mendapatkan dukungan luas dari berbagai kalangan, termasuk para ulama dan pemikir Muslim, serta lembaga-lembaga internasional. Dengan menerapkan aturan dan nilai-nilai yang diterapkan oleh Rasulullah SAW, masyarakat Muslim akan dapat kembali menjalani hidup dengan bijak dan menghormati sesama manusia. 8. Gagasan ini telah muncul di masa lalu dan masih relevan di masa kini. Gagasan kembali ke Khittah adalah gagasan yang berasal dari masyarakat Muslim yang mencari cara untuk memperbaiki masalah yang dihadapi oleh masyarakat mereka. Gagasan ini berkaitan dengan asal-usul sebuah masyarakat yang berdasarkan ajaran Islam. Gagasan ini telah muncul di masa lalu dan masih relevan di masa kini. Gagasan kembali ke Khittah berasal dari kitab Hadis dan diterjemahkan menjadi bahasa Arab sebagai “Khittah Al-Islam†yang berarti “aturan-aturan Islamâ€. Ini adalah ajaran yang diturunkan secara langsung dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW untuk menyelesaikan masalah sosial dan ekonomi di masa itu. Gagasan ini telah lama berkembang di kalangan umat Islam dan masih sangat relevan di masa kini. Tujuan dari gagasan ini adalah untuk mengikuti ajaran Islam dan melakukan perubahan yang diperlukan di masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Gagasan ini menekankan kepada masyarakat untuk menghormati hukum Allah yang harus ditaati, menghormati sesama manusia, menghormati hak asasi manusia dan menghormati lingkungan. Gagasan ini juga mempromosikan perdamaian antar umat beragama dan antar bangsa. Gagasan ini juga mencakup kesetaraan gender, kesempatan untuk menikmati hak-hak ekonomi dan sosial, hak-hak anak dan hak asasi lainnya. Gagasan ini juga menekankan pentingnya pembangunan berkelanjutan dan pengurangan efek rumah kaca. Gagasan ini telah menjadi bagian integral dari gerakan modern untuk mewujudkan perubahan sosial dan ekonomi. Gagasan ini telah berhasil membantu masyarakat Muslim mencapai kesejahteraan yang lebih baik dengan menerapkan nilai-nilai Islam. Gagasan ini telah menjadi inspirasi bagi pemimpin di berbagai negara untuk membuat kebijakan yang lebih baik. Kesimpulannya, gagasan kembali ke Khittah adalah gagasan yang telah lama berkembang di kalangan umat Islam dan masih sangat relevan di masa kini. Gagasan ini menekankan pada pengikutnya untuk menghormati hukum Allah, sesama manusia, hak asasi manusia dan lingkungan. Gagasan ini juga mempromosikan kesetaraan gender, kesempatan untuk menikmati hak-hak ekonomi dan sosial, hak-hak anak dan hak asasi lainnya. Gagasan ini telah menjadi bagian integral dari gerakan modern untuk mewujudkan perubahan sosial dan ekonomi.
GagasanNur Muhammad banyak mendominasi dalam pemikiran para sufi terbukti dari banyaknya naskah tasawuf yang membicarakannya. Tulisan ini bertujuan mengungkapkan latar belakang timbulnya gagasan Nur Muhammad dan masuknya ke Nusantara. Dari hasil kajian studi pustaka yang dilakukan didapatkan hasil bahwa gagasan ini bermula dari tafsiran filosofis
Khittah Nahdlatul Ulama adalah landasan berpikir, bersika, dan bertindak warga Nahdlatul Ulama yang harus dicerminkan dalam tingkah-laku perseorangan maupun organisasi serta dalam setiap pengambilan di atas tertuang dalam Naskah Khittah NU poin kedua yang disusun Abdul Mun’im DZ dalam bukunya Piagam Perjuangan Kebangsaan 2011. Naskah Khittah yang dirumuskan oleh KH Achmad Siddiq dibantu oleh beberapa kiai lain menjadi tonggak kembalinya NU dalam rel perjuangan seperti cita-cita organisasi pada awal NU menjadi partai pada tahun 1952 turut mendegradasi peran dan perjuangan luhur organisasi karena fokus lebih ke arah politik praktis. Dalam prosesnya, keputusan menjadi partai juga memicu silang pendapat karena setelah menjadi partai pada 1952 juga banyak dari kalangan kiai yang mengusulan kembali ke kembali ke Khittah 1926 muncul kembali pada tahun 1971. Kala itu Ketua Umum PBNU KH Muhammad Dahlan menilai langkah tersebut sebagai sebuah kemunduran secara historis. Pendapat Kiai Muhammad Dahlan itu coba ditengahi oleh Rais Aam KH Abdul Wahab Chasbullah bahwa kembali ke khittah berarti kembali pada semangat perjuangan 1926, saat awal NU didirikan, bukan kembali secara seruan kembali ke khittah sempat terhenti kala itu, gema tersebut muncul lagi pada tahun 1979 ketika diselenggarakan Muktamar ke-26 NU di Semarang, Jawa Tengah. Seperti seruan sebelumnya, usulan untuk kembali menjadi jami’iyah diniyyah ijtima’iyah dalam Muktamar tersebut juga terhenti. Apalagi NU sedang giat-giatnya memperjuangkan aspirasi rakyat dari represi Orde Baru lewat PPP. Namun pada praktiknya, kelompok kritis dari kalangan NU mengalami penggusuran sehingga menurunkan kadar perjuangan dari partai kembali ke khittah kembali nyaring ketika para ulama berkeliling mengonsolidasikan NU. Bersamaan dengan langkah para kiai tersebut, KH Achmad Siddiq menyusun tulisan komprehensif yang berisi tentang pokok-pokok pikiran tentang pemulihan Khittah NU 1926. Tulisan ini dirembug secara terbatas dengan para ulama sepuh di kediaman KH Masykur di yang ditulis oleh KH Achmad Siddiq itu mendapat sambutan dan penghargaan luar biasa karena menjadi konsep dasar kembali ke khittah saat diselenggarakannya Munas NU tahun 1983 di Situbondo, Jawa Timur. Setahun sebelum digelarnya Muktamar ke-27 NU di tempat yang sama, Pesantren Salafiyah Sayafi’iyah Situbondo. Kemudian naskah ini menjadi dokumen resmi Munas sebagai dasar merumuskan Khittah Achmad Siddiq menegaskan bahwa Khittah NU tidak dirumuskan berdasarkan teori yang ada, tetapi berdasarkan pengalaman yang sudah berjalan di NU selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Tujuan kembali ke khittah juga selain mengembalikan organisasi pada rel awal pendirian organisasi, kepentingan bangsa dalam setiap keputusan organisasi juga dijunjung tinggi karena pokok pikiran dalam rumusan khittah memuat unsur keagamaan, sosial-kemasyarakatan, kebangsaan, kepemimpinan ulama, dan Khittah Nahdliyah KH Achmad Siddiq kemudian dioperasionalkan dan merumuskan perangkat kelembagaan yang dilakukan oleh para aktivis NU di antaranya KH Abdurrahman Wahid Gus Dur dan KH Ahmad Mustofa Bisri Gus Mus. Bersama para aktivis lain macam H Mahbub Djunaidi, Fahmi D. Saifuddin, dan lain-lain, Gus Dur dan Gus Mus juga merumuskan naskah hubungan Islam dengan Pancasila pada momen Munas NU 1983 di Situbondo itu yang bersumber dari pemikiran dan pandangan KH Achmad Siddiq dan para kiai sepuh kesaksian Gus Mus, gagasan kembali ke khittah 1926 baru bisa diputuskan berkat pikiran-pikiran brilian sekaligus pribadi-pribadi bersih penuh kharisma dari kedua tokoh besar, KH Achmad Siddiq dan Gus Dur. KH Husein Muhammad, Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, 2015Pandangan kebangsaan kedua tokoh tersebut dan didukung oleh para kiai lain mampu membawa NU ke rel yang sesungguhnya. Bagi NU yang sudah kembali menjadi organisasi sosial keagamaam dan kemasyarakatan ini, politik hanya instrumen mencapai tujuan kemaslahatan bangsa dan itu, politik yang dipraktikkan NU secara struktural adalah politik kebangsaan, politik keumatan, politik kerakyatakan, dan politik yang penuh dengan etika, bukan politik praktis yang berorientasi kekuasaan semata dengan menghalalkan semua cara. Fathoni
ABSTRAK Sejak tahun 1984, melalui Muktamar ke-27 di Situbondo, Nahdiatul Ulama (NU) menyatakan sikap kembali ke khittah 1926. Gagasan kembali ke khittah 1926 ini sudah melalui proses perjalanan panjang, berdasarkan introspeksi dari kalangan tokoh-tokohnya sendiri, karena kiprahnya sebelum itu bukan saja telah mengabaikan tugas-tugas
Versi materi oleh D Endarto 1. Latar Belakang Kembali ke Negara Kesatuan RI NKRI Kembalinya negara Indonesia ke bentuk kesatuan setelah sebelumnya berbentuk serikat karena sebab-sebab berikut. a. Negara Republik Indonesia Serikat RIS tidak sesuai dengan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945. b. Pada umumnya masyarakat Indonesia tidak puas dengan hasil KMB yang melahirkan negara RIS. Rakyat di berbagai daerah melakukan kegiatankegiatan, seperti demonstrasi dan pemogokan untuk menyatakan keinginannya agar bergabung dengan Republik Republic of indonesia. c. Dengan sistem pemerintahan federal berarti melindungi manusia Republic of indonesia yang setuju dengan penjajah Belanda. 2. Proses Kembali ke Negara Kesatuan RI Dengan disetujuinya KMB pada tanggal 2 Nov 1949, di Indonesia terbentuklah satu negara federal yang bernama Indonesia Serikat RIS. RIS terdiri dari negara-negara bagian yaitu Republik Indonesia, negara Sumatera Timur, negara Sumatera Selatan, Negara Pasundan, negara Jawa Timur, negara Madura, negara Indonesia Timur, Kalimantan Tenggara, Banjar, Dayak Besar, Biliton, Riau, dan Jawa Tengah. Masing-masing Negara bagian mempunyai luas daerah dan penduduk yang berbeda. Setelah berdirinya negara RIS, segera muncul usaha-usaha untuk membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rakyat di daerah-daerah melakukan kegiatan kegiatan seperti demonstrasi dan pemogokan untuk menyatakan keinginannya agar bergabung dengan Republik Indonesia di Yogyakarta. Bentuk nyata dari adanya pertentangan tersebut yaitu muncullah dua golongan berikut. a. Golongan unitaris, yaitu golongan yang menghendaki negara kesatuan, dipimpin oleh Moh. Yamin b. Golongan federalis, adalah golongan yang tetap menghendaki adanya negara serikat, dipimpin oleh Sahetapy Engel. Pertentangan ini dimenangkan oleh golongan unitaris. Pada tanggal viii Maret 1950, pemerintah RIS dengan persetujuan Parlemen dan Senat RIS mengeluarkan Undang Undang Darurat No. 11 tahun 1950 tentang “Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS”. Berdasarkan Undang-Undang Darurat tersebut berturut-turut negara-negara bagian menggabungkan diri dengan Republik Republic of indonesia, sehingga sampai tanggal v April 1950 negara RIS tinggal terdiri dari tiga negara bagian, yaitu a. Republik Indonesia RI b. Negara Sumatra Timur NST c. Negara Indonesia Timur NIT Sementara itu pada tanggal xix Mei 1950 dicapai kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Republik Republic of indonesia Serikat NST dan NIT. Kesepakatan tersebut dinamakan “Piagam Persetujuan” yang berisi sebagai berikut. a. Kedua pemerintah sepakat untuk membentuk negara kesatuan sebagai penjelmaan Republik Republic of indonesia berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945. b. Undang-Undang Dasar yang diperoleh dengan mengubah konstitusi RIS sedemikian rupa sehingga prinsip-prinsip pokok UUD 1945 dan bagian-bagian yang baik dari konstitusi RIS termasuk di dalamnya. c. Dewan menteri harus bersifat parlementer. d. Presiden adalah Presiden Sukarno, sedangkan jabatan wakil presiden akan dibicarakan lebih lanjut. e. Membentuk sebuah panitia yang bertugas menyelenggarakan persetujuan tersebut. Sesuai dengan Piagam Persetujuan tersebut pemerintah Republik Indonesia dan RIS akan membentuk panitia bersama. Panitia ini diketuai oleh Menteri Kehakiman RIS yaitu Prof. Dr. Mr. Supomo dan Abdul Hamid dari pihak Republik Indonesia. Tugas pokoknya yaitu merancang Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan. Rancangan tersebut berhasil disusun pada tanggal 20 Juli 1950 untuk selanjutnya diserahkan kepada dewan perwakilan negara-negara bagian untuk disempurnakan. Akhirnya pada tanggal 14 Agustus 1950 Rancangan UUD itu diterima baik oleh senat, parlemen RIS, dan KNIP. Pada tanggal 15 Agustus 1950 Presiden Sukarno menandatangani Rancangan UUD tersebut menjadi UUD Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia atau lebih dikenal sebagai UUDS 1950. Pada tanggal 17 Agustus 1950 negara RIS secara resmi dibubarkan dan kita kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rakyat Republic of indonesia merayakan tanggal 17 Agustus 1950 itu dengan meriah sebagai ulang tahun kemerdekaan yang ke-5.
Denganlatar belakang tersebut, artikel ini berupaya mengkaji apa bagaimana, dan kenapa sesuatu itu harus dilakukan.18 Gagasan untuk kembali ke khittah yang diusung SI sekarang
Pada Muktamar NU ke-25 di Surabaya tahun 1971, gagasan mengembalikan NU ke khittah muncul kembali dalam khutbah iftitâh Rais Am, KH. Abdul Wahab Hasbullah. Saat itu Mbah Wahab mengajak muktamirin untuk kembali ke Khittah NU 1926 sebagai gerakan membantu....
LatarBelakang Lahirnya Khittah NU. Wacana pengembalian NU menjadi organisasi sosial keagamaan sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1971, di mana kekuasaan orde baru terus melakukan penekanan dan peminggiran terhadap NU yang puncaknya terjadi pada muktamar NU tahun 1979. Pada saat itu muncul dua isu utama yaitu: Kembali ke khitthah NU,
Khittah NU – Salah satu pemikiran yang melatarbelakangi keputusan untuk tidak terikat pada kekuatan politik tertentu adalah bahwa keterlibatan yang berlebihan dalam politik membaca dapat yang kurang baik bagi Jami’iyyah Nahdlatul semacam ini disebabkan oleh sikap pribadi elite NU yang lebih menonjolkan kepentingan politik daripada kepentingan Jami’iyyah daripada gilirannya setahap demi setahap NU mulai ditinggalkan dan kehilangan bidang-bidang kegiatannya, seperti dakwah, pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya. Kesadaran semacam itu sebenarnya sudah lama muncul dalam benak tokoh-tokoh NU dan bukan lagi kembali kepada Khittah 1926 pertama kali muncul dalam Muktamar ke-22 di Jakarta, Desember 1959. Seorang juru bicara dari Pengurus Cabang Mojokerto, KH Achyat Chalimi, menilai bahwa peran politik Partai NU telah hilang dan peranan dipegang oleh perseorangan, hingga saat itu partai sebagai alat politik bagi NU sudah karena itu, diusulkan agar NU kembali kepada Khittah pada tahun 1926. Namun, usaha itu hanya didukung oleh satu Cabang saja, sehingga penilaian kembali kepada Khittah NU serupa kembali digelindingkan tahun 1971 dalam Muktamar ke-25 di Surabaya. Kali ini gagasan datang dari Rais Aam ketua umum KH. Wahan Hasbullah, dan gagasan tersebut mendapat sambutan yang lebih karena itu, salah satu persoalan yang diperdebatkan adalah kehendak NU untuk kembali pada garis perjuangan tahun 1926 ketika pertama kali didirikan, yakni mengurusi persoalan agama, pendidikan dan sosial untuk kemasyarakatan saja. Akan tetapi pada akhirnya gagasan ini kalah oleh arus yang besar tentang keinginan untuk mempertahankan NU tetap berpolitik diperhatikan dalam kurun waktu tertentu, kandasnya gagasan ke Khittah tersebut disebabkan karena dua faktorPertama, gagasan itu semata-mata dilandasi alasan politisi NU yang akhirnya hanya menjadi alat kepentingan politik pribadi pada elitenya, dan karena itu solusi yang ditawarkan pun senada, dan tidak populer, yakni agar NU meninggalkan gelanggang politik sama tengah banyaknya keuntungan yang diperoleh NU dalam pergulatan politik, wajar jika keinginan untuk meninggalkan peran-peran politik itu hanya dipandang sebelah mata. Terlebih lagi jika diingat bahwa pada saat itu peran kelompok politik masih dominan dalam tubuh konsep kembalinya ke Khittah tidak termasuk secara jelas kecuali dalam pengertian “kembali pada tahun 1926”. Pengertian yang kurang jelas itu bisa dipahami sebagai langkah mundur, serta menafikan nilai-nilai yang diperoleh NU dalam pengalamannya selama Muktamar ke-25 memutuskan, mempertimbangkan gagasan tentang sebuah wadah baru yang non politis yang menampung dan membimbing aspirasi Islam Ahlussunnah Wal Jamaah di kalangan umat, yang oleh karena faktor-faktor lain harus meninggalkan ikatan-ikatan politiknya dengan partai secara lebih jelas tentang konsep kembali ke Khittah, baru berkembang menjelang Muktamar ke-26 di Semarang tahun 1979. Landasan pemikiran politis kini dilengkapi dengan alasan moral. Merenungi perjalanan politik NU selama ini, seorang ulama berpengaruh di Jawa Timur, KH. Machrus Ali, menyebutkan bahwa telah terjadi kerusuhan batiniah dalam NU, dan para tokohnya dianggap terlalu cinta kekuasaan dan cinta kedudukan hub al-riyasah dan hub al-jaah.Ulama senior NU lain, KH. Achmad Shiddiq, menilai perlunya dirumuskan tekad untuk kembali ke “Khittah Nahdliyah”, garis-garis besar tingkah laku perjuangan NU. Menurut beliau, saat itu telah semakin jauh jarak waktu antara generasi pendiri NU dan generasi penerus, serta semakin luarnya medan perjuangan dan bidang garapan samping itu, ulama generasi pendiri NU telah semakin berkurang jumlah dan peranannya dalam kepemimpinan NU. Itu sebabnya dikhawatirkan NU akan kehilangan arah di masa nanti, jika prinsip Khittah NU tidak secepatnya disusun pemikiran kolektif semacam itu banyak datang dari kalangan ulama, barangkali wajar mengingat keprihatinan mereka akan terlalu dominannya peran kelompok politisi di Tanfidiyah dalam kepemimpinan NU yang secara tidak langsung mengurangi peran itu, sebuah generasi NU muncul dengan kekhususannya sendiri. Mereka bukan kelompok ulama yang dapat digolongkan dalam kubu Situbondo, dan buka pula politisi atau tergolong Cipete. Mereka lebih tampak sebagai intelektual yang tampil dengan gagasan-gagasan “Jalan Tengah”, dan karena netralitas mereka dalam polarisasi ulama politisi itu, gagasan mereka bisa lebih objektif dan relatif mudah diterima oleh semua kalangan segala pergulatan pemikiran, kelompok intelektual generasi baru NU itu sampai pada kesimpulan bahwa NU memerlukan perubahan dalam garis-garis perjuangannya, dengan tetap berpegang pada semangat dan ide dasar perjuangan itu, sekalipun mereka mengajukan gagasan kembali ke Khittah 1926 sebagaimana beberapa senior mereka, namun kali ini gagasan tersebut telah ditopang pondasi dan rancang bangun yang lebih ini secara bertahap dapat dibuktikan dengan tindakan nyata. Sekitar tahun 1974, generasi baru NU itu termasuk di dalamnya antara lain KH. Abdurrahman Wahid, Fahmi Saifudin, Said Budairy, Rozi Munir, Abdullah Syarwani dan Slamet Efendi Yusuf, mulai melakukan perubahan dalam tubuh NU. Sampai pada tahun 1976, mereka berusaha melakukan pemerataan ide-ide pembaharuan di kalangan pengurus dan tokoh-tokoh muda lainnya, sehingga pada tahun 1979, ide-ide itu mulai ditetapkan melalui lembaga-lembaga di bawah ketika kelompok ini menyuarakan hasil usulan untuk kembali ke Khittah 1926 dalam Muktamar di Semarang, sambutan yang diperoleh tampak menggembirakan. Dalam program dasar pengembangan lima tahun sebagai hasil Muktamar, diuraikan tujuan sebagai berikutMenghayati makna seruan kembali ke jiwa upaya intern untuk memenuhi seruan Khittah cakupan partisipasi Nahdlatul Ulama secara lebih nyata pada pembangunan bulan Mei 1983, kelompok ini juga menyelenggarakan pertemuan yang dihadiri oleh tokoh muda NU, yang kemudian dikenal dengan nama Majelis 24, yang bertujuan melakukan refleksi terhadap NU, dengan kesepakatan penting terbentuknya “Tim Tujuh untuk pemulihan Khittah NU 1926”.Tim ini terdiri dariKH. Abdurrahman Wahib atau Gus Dur sebagai KetuaH. M. Zamroni Wakil KetuaSaid Budairy SekretarisH. Mahbub Junaidi, Fahmi Saifuddin, Daniel Tanjung, dan Ahmad Bagja AnggotaTim ini merumuskan konsep pembenahan dan pengembangan NU sesuai Khittah 1926 serta menyusun pola kepemimpinan NU. Rumusan yang dihasilkan oleh Tim Tujuh inilah yang kemudian dijadikan pembahasan dalam Munas Alim Ulama 1983 dan Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun kedua forum inilah dihasilkan Perubahan Anggaran Dasar NU, Program Dasar Pengembangan NU, rekomendasi mengenai masalah keagamaan, pendidikan, sosial, politik, dan ekonomi sesuai acuan Khittah 1926.
H19Q. y4h7l9nqsw.pages.dev/257y4h7l9nqsw.pages.dev/301y4h7l9nqsw.pages.dev/214y4h7l9nqsw.pages.dev/305y4h7l9nqsw.pages.dev/207y4h7l9nqsw.pages.dev/402y4h7l9nqsw.pages.dev/400y4h7l9nqsw.pages.dev/134
bagaimana latar belakang munculnya gagasan kembali ke khittah